Rabu, 26 Agustus 2015

PIKU [2015]

Apa yang paling saya sukai dari kebanyakan film-film India adalah pada premis bagusnya yang banyak menanamkan nilai-nilai kehidupan. Sekalipun dengan dibumbui banyak komedi, tapi kesan dramatisnya tidak bisa hilang begitu saja. Adalah sebuah kemajuan bila film drama keluarga yang sebetulnya sanggup memancing emosi semacam ini, disuguhkan dengan komedi agar tidak melulu membuat penontonnya berisak tangis. Bagi tipikal penonton yang terlalu mudah ‘berair mata’, film seperti ini bisa menjadi alternatif utama. “Piku” yang disutradarai oleh Shoojit Sircar ini contohnya. Dengan komedi segar lewat dialog-dialognya yang mudah menggugah tawa, “Piku” masih tetap memiliki kehangatan drama yang kuat di dalamnya. Dan lagi, karakter-karakternya juga mampu mengundang simpati.

Piku (Deepika Padukone) sendiri adalah seorang arsitek muda yang bekerja di Kota Delhi. Tinggal bersama ayahnya, Bhaskor Banarjee (Amitabh Bachchan) yang bermasalah soal sembelit. Tiada hari tanpa perdebatan “sembelit” ini antara Bhaskor dengan Piku. Permasalahan keluarga itu ternyata mempengaruhi keseharian Piku, baik terhadap kekasihnya, Syed (Jisshu Sengupta) dan pengusaha taksi langganannya, Rana Chaudhary (Irrfan Khan). Suatu ketika, Bhaskor ingin pergi ke kampung halamannya di Kolkata dengan naik taksi. Karena tidak ada sopir yang mau mengantar, Rana pun turun tangan menggantikan para pegawainya yang mangkir. Perjalanan itu rupanya menjadi pengalaman yang berarti bagi mereka semua, terutama bagi Bhaskor Banarjee.      

Hingga akhir paruh pertamanya, sebenarnya “Piku” sudah mulai tertebak ke mana bermuara ceritanya. Tapi saya tidak akan menjelaskannya secara rinci di sini. Sekalipun mudah tertebak di awal, “Piku” tetap menarik atensi saya selaku penonton untuk tetap terus mengikuti jalan ceritanya. Pertama, lewat komedi segar yang dihadirkan di paruh pertama tersebut. Kedua, ini adalah film road trip. Tentunya, bakal ada banyak sekali petualangan seru yang hadir dalam perjalanannya, terutama pemandangan-pemandangan indah yang melengkapinya. Dua hal itu sanggup menarik saya kuat-kuat untuk menaruh perhatian lebih dengan menontonnya serta mengesampingkan cerita yang predictable. Memang terbukti benar, sepanjang “Piku” berjalan, film ini telah membuat saya hanyut dalam jalinan kisahnya yang lucu dan hangat. Tidak terkecuali pada keindahan bangunan-bangunan tua di Kota Kolkata. Hingga selesai pun, “Piku” masih tetap membuat saya tersenyum-senyum dibuatnya.

Selesai saya menjelaskan segala tumpahan perasaan pada film ini, apakah sebenarnya yang membuat film ini begitu menarik untuk ditonton ?. Banyak, terutama pada karakternya. Pertama kita diperkenalkan dengan sosok Piku yang ketus dan terkesan menjengkelkan. Begitu pula dengan Bhaskor yang bermasalah dengan sembelit, sosok pria tua egois yang tidak kalah menyebalkannya lewat kata-kata yang kritis dan cynical. Bhaskor sendiri digambarkan mengidap hypochondriasis, yaitu suatu kecemasan berlebih karena penyakit yang bisa dibilang tidak terlalu berat. Semua itu tidak lain adalah caranya sendiri dalam mempersulit hal-hal yang seharusnya mudah. Bhaskor dan Piku, keduanya tidak pernah berhenti berdebat soal sembelit ini. Maka jangan heran bila sepanjang film ini berjalan, banyak dialog yang diisi dengan kata (maaf) “sembelit”, “BAB”, “Tahi”, dll. Mungkin terdengar menjijikkan, tapi justru di situlah letak kekuatan dari film ini. Sedangkan untuk Rana, ia lebih netral dan menjadi penengah antara bapak dan anak ini lewat kebijaksanaannya.   

Piku bermasalah dengan ayahnya, di lain pihak Rana bermasalah dengan ibunya. Segala konflik yang mereka hadapi sedikit demi sedikit menemukan pemecahannya lewat perjalanan ‘spiritual’ dari Delhi menuju Kolkata ini. Jika sebelumnya Anda merasa dibuat jengkel berlebih oleh Piku, tapi tidak perlu waktu lama Anda akan dibuat bersimpati padanya melalui kasih sayangnya pada si ayah yang ‘tidak biasa’. Beda Piku beda Bhaskor. Anda benar-benar harus bersabar ekstra dan gemas tiada henti melihat tingkah polahnya. Jika saya analisa lebih mendalam, apa yang terjadi pada Bhaskor ini adalah fase wajar terjadi pada mereka di usia uzur. Seorang tua yang ingin mencari perhatian lebih dari sanak keluarga (terutama anak), manja layaknya anak kecil, takut kesepian, dan tidak ingin ditinggal. Perasaan tidak ingin ditinggal tersebut terbukti dari cara Bhaskor yang terus menerus mencegah Piku untuk segera menikah. Kebalikan dari kebanyakan orang tua pada umumnya.

Faktor lain yang menjadi kekuatan dari film ini sendiri adalah pada performa dari aktor dan aktrisnya. Terutama pada Amitabh Bachchan yang dengan lihainya memerankan kakek-kakek yang menyebalkan tapi sanggup membuat tersenyum penontonnya dengan segala tingkah lakunya. Ia rupanya dapat lari dari peran-peran di film sebelumnya yang lekat dengan image pria kharismatik. Irrfan Khan juga berakting bagus di sini lengkap dengan gaya bijaknya seperti ketika bermain dalam “Life of Pi” (2012). Di antara ketiga karakter utama di sini, saya merasa bahwa Piku tidaklah cukup menonjol, bahkan jika dibanding dengan peran Rana yang hanya sebagai penengah. Piku sendiri kurang mampu mengambil simpati dan masih kalah posisi jika dibanding Bhaskor. Meski memakai judul “Piku”, nyatanya film ini lebih banyak menyoroti soal Bhaskor. Akibatnya, karakter Piku kurang begitu digali lebih dalam. Tapi akting Deepika Padukone sudah lebih dari cukup untuk menghidupkan si Piku ini.    

Keseluruhan, “Piku” adalah drama keluarga ditambah road trip yang begitu menyenangkan dan menyentuh, tanpa perlu banyak mengumbar isak tangis di sana sini. Singkatnya, “Piku” merupakan gambaran nyata dari fase tua seorang manusia yang mulai takut akan kesepian ditinggal oleh orang-orang tersayang. Tidak mengagetkan bila mereka yang sudah pada tahapan ini kembali bertingkah seperti anak kecil dan ingin lebih diperhatikan. Sayangnya, ketidak pahaman orang-orang di sekitarnya membuatnya dianggap menyebalkan.
8 / 10

1 komentar:

AYO KITA DISKUSIKAN !